PLEASE LET ME SEE YOUR FACE
Apr, May, Jun, Sep & Oct 2003 | Netherlands, Indonesia
Apr, May, Jun, Sep & Oct 2003 | Netherlands, Indonesia
Concept, Choreography : Gerard Mosterd | ||
Scenic Picture | : | Pim Vlug |
Costumes | : | Mascha Hornsveld |
Light | : | Roland Van Meel |
Stage Design | : | Wilhelmus Vlug |
Composer | : | Paul Goodman |
Live Gamelan | : | Renadi Santoso |
Dancers | : | Wendel Spier and Jerome Meyer |
Producer | : | Foundation for New Homes Breda ( Anneke Huilmand , Tari Indonesia / Sumber Cipta (Chendra Panatan) Jakarta, Arti Foundation Denpasar (Ulf Gadd / Kadek Suardana) |
Subsidized by | : | Hivos, FAPK, Municipality of Amersfoort and Erasmus Huis Jakarta Theater Festival Gedung Kesenian Jakarta (Local) |
Duration | : | 55 Minutes |
Premiere | : | 23 April 2003 Theatre de Lieverouw, Amersfoort |
Performances | : | Netherlands 9, Indonesia 9 Workshops in Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Denpasar |
About | : | Dance duet inspired by hiding behind a mask |
The Indonesian tour of this production was supported by HIVOS Internationalisering fonds, Royal Dutch Embassy Jakarta, Erasmushuis, the Dutch National Foundation for the Performing Arts (LFAPK), TARI Indonesia, Karta Pustaka, Yayasan Sumber Cipta Jakarta, GKJ, Teater Utan Kayu and Bureau Kunst Educatie Amersfoort.
Special thanks to Dr. Maarten Mulder, Farida Oetoyo, Jaby Phillippi, Usha Gopie, Keluarga Ibu Tien Nugroho, Keluarga Louise & Tjandra Kerton, Sardono W. & Amna Kusumo, Dr. Coen Holtzappel, Mira Tedja, Endo Suanda and Martinus Miroto.
Please Let Me See Your Face Performed by Wendel Spier and Jerome Meyer at Ksanirawa Arts Centre, Denpasar
In het Cosmic-theater in Amsterdam toonde choreograaf Gerard Mosterd (1964) onlangs zijn dansstuk ‘Please let me see your face’. Twee dansers, de Indische Wendel Spier en de Zwitserse Jerome Meyer, laten hierin hun maskers vallen en gaan op zoek naar elkaars identiteit. De begeleiding, live uitgevoerde Indonesische gamelan en elektronische muziek van Paul Goodman, benadrukt de thematiek: het verschil in levenshouding van oost en west. De totale compositie, de geladenheid, die door de vaak gepassioneerde danswegingen extra dimensie kreeg, en de soms karakteristiek elegante Indonesische bewegingen, intrigeerden steeds meer. Voor je het weet, word je weggevoerd in een wereld van verbeelding, een wereld die verwant is aan onze droomwereld misschien.
Intrigerend en knap is dat Gerard Mosterd in zijn poëtische productie het ‘ongrijpbare’ zo sterk liet overkomen. Mosterd: “Via bewegingen, composities en ruimtegebruik probeer ik een scala van emoties en beelden op te trekken, weg uit de harde rationele realiteit. We hebben net de Irak-oorlog achter de rug en de confronterende situatie met Bin Laden en George Bush is nog steeds aan de gang. Het stereotiepe beeld van de oosterling is een glimlach, een vriendelijke uitstraling, maar je weet niet precies wat erachter zit.
De Europese en ge-Amerikaniseerde mens staat juist bekend om zijn tactloosheid en het bijna kwetsend direct op zijn doel afgaan. In de actuele wereldpolitieke situatie kun je je afvragen wie er echt open is. Dus ‘please let me see your face!’ Mijn vader is een echte ‘viking’ met blauwe ogen en mijn moeder is Indonesisch.
Zij heeft mij voornamelijk opgevoed en dat heeft bepaalde consequenties. Omdat je andere opvattingen hebt over hoe je je in het leven moet gedragen. Dat is een uitgangspunt in mijn voorstellingen.” Mosterd heeft diverse studiereizen naar Indonesië gemaakt en samengewerkt met Javaanse hofdansers. Zijn vorige voorstelling ‘Lichtende Schemering’ toerde ook door Indonesië.
Heel karakteristiek in de oosterse samenleving vindt Mosterd dat je als het ware een ‘Wajang’ bent, een schaduw. Je moet niet in het licht gaan staan, maar je bescheiden opstellen en niet op de voorgrond treden. “Dit is niet the combineren met onze drang om iets te realiseren, want hier moet je je ego juist profileren. Dit contrast kan tot conflicten leiden als je tussen die twee culturen bent opgevoed.”
Deze dansvoorstelling is komend najaar ook in Indonesië te zien:
27 en 28 september in Jakarta, Teater Utan Kayu, Gedung Kesenian en Erasmushuis; 4 en 5 oktober in Bandung; 9 en 10 oktober in Yogyakarta; 12 en 13 oktober in Solo; 15 en 16 oktober in Semarang; 18 en 19 oktober in Surabaya; 24 en 25 oktober in Malang; en 29 en 30 oktober in Denpasar.
“Please Let Me See Your Face”
TAHUN lalu koreografer Belanda Gerard Mosterd mementaskan “Luminescent Twilight”. Kini seniman ini kembali datang ke hadapan publik Indonesia menghadirkan karya koreografi terbarunya yang berjudul “Please Let Me See Your Face.”
Karya ini dipentaskan di enam kota: Jakarta, Bandung, Solo, Yogyakarta, Surabaya dan terakhir di Denpasar, Bali. Di Denpasar pertunjukan ini akan digelar di Gedung Ksirarnawa Taman Budaya hari ini, Selasa (21/10), pukul 20 wita.
Garapan Gerard Mosterd ini memandang pemakaian topeng dari dua sisi. Di satu sisi topeng bisa dimaknai sebagai simbol leluhur yang mewakili nilai luhur tradisi dan ritual, namun sebaliknya pemakaian topeng dapat mengacu kepada penyelubungan akan kondisi yang sebenarnya dari tiap individu pemakainya.
Please Let Me See Your Face [BP/Ist]
Bagaimanakah media tari dapat menyingkap per- masalahan identitas di balik pemakai topeng?
Aku mau mengenalmu,
tapi aku tak dapat melihat siapa dirimu
Lepaskan segala tata rias dan senyum dari wajahmu
Aku memerlukan kepolosanmu untuk dapat memahamimu
Dari setiap tarikan nafas di kulit wajahmu
Biarkan aku melihat wajahmu.
Sosok itu melangkah ketujuannya
Langsung, tanpa menyembunyikan apa-apa
Sesekali hambatan menghadang,
dan dia menginginkan keterbukaan
Akankah ia melangkah terus
Biarkan aku melihat wajahmu.
Demikian yang diungkapkan tari yang berjudul “Please Let Me See Your Face” garapan Gerard Mosterd dari Belanda. Bersama enam penari, musisi, serta dengan memadukan unsur seni Timur dan Barat yang memiliki ciri khasnya masing-masing, Gerard Mosterd akan menghadirkan ke atas pentas masalah pencarian identitas ini. (*/ita)
Please Let Me See Your Face – Dua penari Belanda ini tampil memukau [Foto: Yuyung Abdi/JP]
Pergelaran Tari Gerard dan Jazz Bubi Chen SURABAYA – Pergelaran musik jazz Bubi Chen dan penampilan tari karya koreografer Belanda Gerard Mosterd di Gedung Utama Balai Pemuda, Minggu malam kemarin, dibanjiri penonton. Padahal, untuk menyaksikan pergelaran itu, penonton mesti mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, Rp 100 ribu per kursi.
Bubi menyuguhkan musik yang membuat penikmatnya ingin terus menikmati. Sedangkan Gerard menampilkan tari berjudul Please Let Me See Your Face yang bercerita tentang pandangan Timur oleh mata Barat. Tempat duduk penonton diformat jamuan makan malam. Panggung dibuka dengan tari Please Let Me See Your Face. Tarian berdurasi 50 menit ini dibawakan dua penari pria dan wanita, Jerome Myer dan Wendel Spier.
Bercerita tentang misteri Timur di mata Barat, tarian ini diekspresikan tidak hanya dalam olah gerak saja, tapi sekaligus interior panggungnya. Seperti pernyertaan tirai-tirai putih berlapis-lapis sebagai simbol ketertutupan sekaligus kemisteriusan Timur itu. Kemudian ada pula sesi yang menyimbolkan ketertutupan Timur dengan Burqa, cadar penutup muka wanita di Timur Tengah.
“Lewat tarian ini, saya ingin mengangkat tarik ulur antara Timur dan Barat yang hingga kini masih terus berlangsung,” ungkap Gerard. Kata dia, khusus tarian tersebut di persiapkan selama 6 minggu. Tuntas gelar tari, giliran penonton disuguhi musik jazz oleh Bubi Chen bersama Band Virtouso. Bubi mengawalinya dengan permainan solo di atas piano berusia 96 tahun. Meski piano tua, denting suaranya masih terdengar jernih.
“Mungkin ada beberapa bagian yang terdengar agak aneh karena tuanya piano ini,” ungkap Bubi sebelum memulai repertoarnya.
Khusus untuk piano tua dengan berat 5 ton tersebut, butuh 35 orang untuk memindahkannya ke ruangan konser dari ruangan di Balai Pemuda. Selama satu jam, para penonton diajak menikmati alunan musik jazz. Bubi yang telah malang-melintang dalam percaturan musik jazz, baik di dalam maupun luar negeri ini mampu membuktikan, ketika usia beranjak tua permainannya tetap patut diacungi jempol. Di penghujung acara, penonton disuguhi kolaborasi Bubi pada piano dan Gerard pada gitar, bersama mereka melakukan jam session sekitar 10 menit. Begitu lagu selesai, tepuk tangan penonton pun terdengar panjang. (ani)
Gerard Mosterd menularkan ilmunya pada siswa SMU Tri Murti [Foto:RADAR/ABU]
GUBERNUR SURYO-RADAR • Para siswa SMU Tri Murti Surabaya mendapat kesempatan langka. Siang kemarin mereka ditulari ilmu menari oleh Gerard Mosterd dan kawan-kawan. Mosterd adalah koreografer berkebangsaan Belanda, namun beribukan wanita Indonesia.
Pelatihan selama kurang lebih dua jam itu diikuti puluhan siswa Tri Murti. Pada kesempatan itu, Mosterd yang malam ini akan tampil di Balai Pemuda mementaskan tarian Please Let Me See Your Face, mengajari mereka dasar-dasar tarian kontemporer. Mulai dari gerakan dasar, pernapasan, kelenturan tubuh, dan melatih keseimbangan. Para siswa tampak serius mengikuti setiap gerakan yang diperagakan Mosterd, meski tak jarang mereka mengalami kesulitan. “Gerakannya kok aneh gini ya. Di sini nggak ada tarian seperti ini,” cetus seorang siswa.
“Tari kontemporer merupakan penggabungan unsur gerak lemah gemulai dan ritme keras dan cepat. Bisa dibilang penggabungan tari tradisional dan modern,” jelas Mosterd usai memberi pelatihan. Dari kegiatan seperti ini Mosterd berharap bisa memahami setiap kebudayaan di penjuru Indonesia. Selain Surabaya, alumnus Royal Conservatory di Hague Belanda ini pernah menularkan ilmunya di Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Solo, dan Denpasar.
Mosterd memang berupaya memadukan beragam budaya orang lain dengan budayanya sendiri. Upaya mensinergikan dua kebudayaan berbeda seperti itu juga dilakukan kedua orangtuanya. Ayah Mosterd adalah lelaki Belanda asli, sementara ibunya orang Indonesia. “Obsesi saya bisa memadukan budaya timur dan barat. Dengan begitu tak kan ada lagi pertentangan di antara keduanya.”
Tentang siswa Tri Murti yang menjadi `murid’nya kemarin, Mosterd sempat memberikan pujiannya. “Mereka belajar penuh semangat, meski tarian yang saya peragakan terlihat aneh. Bakat-bakat mereka juga bagus, sayang kalau tidak ada yang menyalurkan,” ujarnya.
Menyinggung soal pentasnya malam nanti, Gerald Mosterd berjanji tampil habis-habisan. Ini merupakan penampilan keduanya di Surabaya, setelah tahun lalu dia unjuk gigi di Festival Cak Durasim. Lewat pentas itu dia ingin ‘melihat’ budaya Indonesia dengan mata gamblang, agar bisa mengadopsinya menjadi sebuah ide gerakan tari baru.
Mosterd memang terobsesi melahirkan gerakan tari baru, sebuah gerakan perpaduan antara berbagai budaya yang berbeda. Karena itu dia sangat berharap ada saling keterbukaan antara budaya timur dan barat. Dan, salah satu pihak yang bisa menjembatani perbedaan itu adalah para seniman semacam dirinya. “Seniman memang diharapkan bisa menjembatani perbedaan antarbangsa untuk mencapai pemahaman bersama,” pungkasnya. (zen)
Aku mau mengenalmu, tapi aku tak dapat melihat siapa dirimu
Lepaskan segala tata rias dan senyum di wajahmu
Aku memerlukan kepolosanmu untuk dapat memahamimu
Dari setiap tarikan nafas di kulit wajahmu
Biarkan aku melihatmu
Sosok itu melangkah ke tujuannya
Langsung, tanpa menyembunyikan apa-apa
Sesekali halangan menghadang, dan dia menginginkan keterbukaan
Akankah ia melangkah terus
Biarkan aku melihatmu
Bait bait puisi itulah yang mungkin dapat mendekati makna dari karya tari Please Let Me See Your Facekarya koreografer asal Belanda, Gerard Mosterd yang akan digelar di Studio Sono Seni, Kemlayan, Solo, Selasa (7/10) malam ini. Menurut manajer tur pementasan Please Let Me See Your Face dari Gerard Mosterd di Indonesia, Chendra Effendy, tarian yang bakal dipentaskan tersebut berisi pencarian terhadap jati diri. Tema-tema seperti itu, seperti menjadi ciri khas karya-karya Gerard.
Hal itu mungkin tldak lepas dari pribadi Gerard yang seorang indo. Koreografer yang lahir di Amersfoot, Belanda, itu mempunyai darah Belanda dari ayahnya, sedangkan sang ibu berkebangsaan Indonesia. “Berangkat dari hal itu karya Gerard selalu mempertemukan nilai-nilai Indonesia dan Belanda. Dia sepertinya ingin menemukan jati diri sebagai seorang indo. Karyanya yang tahun lalu di gelar di Indonesia Luminescent Twilight juga berisi tentang pencarian jati diri, dengan mengangkat tema gelap dan terang,” tutur Chendra.
Please Let Me See Your Face melibatkan dua penari Jerome Myer dan Wendel Spier, musisi Renadi Santosa dan teknisi Ruben Van Krimpen.
Selain di Solo, tur itu juga telah digelar di Gedung Kesenian Jakarta pada (27/9), Erasmus Huis (30/9), Selasar Sunaryo Art Space, Bandung (3-4/10). Selain itu pertunjukan itu juga akan digelar di Balai Pemuda Surabaya (12/10),Taman BudayaYogyakarta (15/10) maupun Gedung Ksirarnawa Taman Budaya, Denpasar (21/10).
Sebelum pementasan di Solo, Senin (6/10) tadi malam, Gerard Mosterd mengadakan workshop gerak tari di Studio Sono Seni. Workshop tersebut diikuti sekitar 18 penari-penari Solo.
yan
Please Let Me See Your Face! Itu judul tari yang dipilih Gerard Mosterd untuk karya yang dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta 27 September dan di Erasmus Huis Jakarta, 30 September lalu. Garapan koreografer kelahiran Amersfoort, Belanda, berdarah blasteran Belanda -Indonesia itu mengungkapkan persoalan seputar hubungan antar manusia dengan latar belakang kultural yang berbeda. Ada semacam sekat, atau topeng, yang membatasi komunikasi antar mereka.
Suasana terpisah, atmosfer keterasingan, tetapi juga keinginan dua manusia untuk saling menyentuh itu dibangun lewat gerak, tata cahaya, dan desain panggung yang penuh tirai penyekat. Di panggung terpasang lima helai kain putih transparan yang menjuntai dari atas hingga lantai pentas. Kain atau tirai itu dipasang di lima sudut terpisah, masing-masing di sudut kanan dan kiri belakang panggung. Dua tirai lain dalam posisi hampir sama di pasang di depan dua tirai tadi. Satu tirai lagi terpasang di sudut kanan agak ke depan pentas.
Rindu Wajah – Pementasan tari Please Let Me See Your Face karya Gerard Mosterd mengangkat problem pelik komunikasi antar manusia
Di balik layar sebelah kanan belakang panggung seorang penari pria dengan kostum ketat warna putih menunjukkan gerak seperti menggelepar, menggapai- gapai layar, melompat-lompat dengan gerakan eksplosif. Dia tampak takut- takut untuk keluar dari tirai. Cahaya difokuskan pada tirai sang penari, sementara bagian panggung lain tampak gelap.
Sesaat kemudian gerakan lelaki itu berhenti seturut cahaya yang meredup. Cahaya beralih ke tirai sebelah kiri belakang panggung. Di balik tirai terlihat perempuan bergerak-gerak cepat, seperti meronta, belingsatan, memberontak. Tangannya kemudian menarik kain tipis hingga tirai itu jatuh, luruh ke lantai.
Pada bagian selanjutnya keduanya masing-masing keluar dari balik tirai. Mereka menggeliat-geliat di ruang-ruang terpisah. Gerak tubuh mereka seperti melepaskan tenaga resah. Keduanya seperti hidup di alam terpisah, satu ruang tapi tidak saling menyentuh. Mereka ingin menjebol dan lepas dari sekat tirai.
Suasana pentas terasa seperti alam mimpi yang serba asing. Terdengar bunyi seperti getaran mesin yang sering terdengar dalam fiksi-fiksi ilmiah (sci-fi) yang sedang menggambarkan planet misterius. Cahaya di panggung antara gelap dan remang-remang. Dalam suasana alam asing dan terkesan tegang itu dua sosok menggeliat, menggelepar, meronta. Mereka tidak pernah bersentuhan satu sama lain. Mereka keluar masuk menyelusupi tirai atau berlarian di antara sekat-sekat kain itu.
Suasana serba tegang, temaram, dan asing itu dibiarkan hingga sekitar 20 menit. Dalam sekitar 20 menit berikutnya atmosfer pelan-pelan berubah. Dua sosok penari itu muali saling berdekatan lalu menyentuh. Pada awalnya mereka masih saling intip di sekitar tirai. Kemudian mereka bersentuhan, berlompatan, berguling-guling, dan bergumul.
Cahaya pelan-pelan menerang terdengar musik yang mengingatkan bunyi gamelan. Ketika cahaya makin terang, mengalunlah musik keroncong, lengkap dengan vokal dan lirik bahasa Indonesia. Rasa tegang seperti telah di lepas dan terasa atmosfer serba lega. Saat itu, dua sosok tersebut telah akrab, saling menyentuh, bersahabat, dan seperti bercanda.
Karya Gerard Mosterd, Please Let Me See Your Face, yang berdurasi sekitar 45 menit ini masih beranjak dari titik persoalan seputar jati diri dan hubungan antarmanusia dari latar belakang berbeda. Tema hampir serupa pernah digarap Mosterd dalam Luminescent Twilight, yang dipentaskan di Jakarta September tahun lalu. Dua karya tersebut menggunakan tirai atau layar sebagai medium untuk menyampaikan gambaran keterpisahan.
Layar juga menjadi semacam tirai yang menutupi sosok dari pribadi seseorang. Ada semacam ketegangan, kecurigaan dari dua sosok penari itu saling berdekatan, menyapa, dan bersentuhan meski akhirnya hubungan mereka cair.
Kegamangan eksistensi Mosterd yang blasteran itu juga masih mewarnai karya ini. Mosterd yang berayah dan beribu dari Jawa Timur yang dibesarkan di Sumatera Utara itu pernah belajar balet klasik di Royal Conservatory, Den Haag. Namun, dia juga akrab dengan komunitas kesenian Gugum Gumbira sampai Sardono W Kusumo.
“Saya ini dibesarkan antara nasi dan kentang. Meski hidup di Barat, ada rasa Indo dalam diri saya,” kata Mosterd dalam wawancara dengan Kompas sebelum pentas Luminescent Twilight tahun lalu.
Titik temu antara Eropa dan Asia itu boleh jadi adalah keroncong. Setidaknya keroncong muncul dalam dua karya Mosterd yang digelar di Jakarta. Tahun lalu, dia memunculkan Keroncong Moritsku. Mosterd memang tak berkesan mencari titik temu atau sintesa gerak Barat-Timur. Tak ada kesan gerak yang cenderung “menjawa” atau sebaliknya. Dia membiarkan dua latar belakang kultural itu berinteraksi secara natural.
Dua penari dalam Please Let Me See Your Face memang berasal dari latar belakang berlainan. Mereka adalah Wendel Spier yang mempunyai orangtua berdarah Jawa tapi tumbuh di Belanda, serta Jerome Myer yang berlatar belakang Swiss-Eropa. Karya ini juga melibatkan pemain gamelan Renadi Santoso yang antara lain memainkan rebab dan saron. Mereka menjadi penerjemah yang baik dari persoalan latar belakang “nasi dan kentang” dari Mosterd. Lewat gerak, Mosterd mencoba memahami hubungan manusia dari sisi nurani, bukan dari sisi kentang atau keju, atau sisi wajah manusia.
Please Let Me See Your Face juga digelar di Selasar Sunaryo Bandung pada 3-4 Oktober. Selain itu, akan digelar juga di Studio Sono Seni, Solo (7/10), Balai Pemuda Surabaya (12/10), Taman Budaya Yogyakarta (15/10), dan Taman Budaya Denpasar Bali (21/10). (XAR)
Aku ingin mengenalmu, tapi tak bisa kulihat siapa dirimu
Hapus tata rias dan senyum di wajahmu
Aku memerlukan ketelanjanganmu untuk dapat memahami
Melalui setiap tarikan napas di kulit wajahmu
Gerard Mosterd, 2003
PEMENTASAN Tari Let Me See Your Face karya koreografer asal Belanda, Gerard Mosterd yang akan berlangsung di Selasar Sunaryo Art Space tanggal 3-4 Oktober 2003 bisa dipandang sebagai refleksi dari situasi kegamangan identitas budaya di tengah situasi dan kondisi global dewasa ini. Melalui karyanya, Mosterd menggabungkan dua karakter budaya yang semula dilihat sebagai pasangan yang berlawanan; kebaratan dan ketimuran; antara yang oksidental dan yang oriental.
Let Me See Your Face banyak diilhami oleh pertanyaan yang filosofis tentang identitas “siapakah aku?”, “dari mana aku berasal?”, kemanakah aku harus berkiblat?”. Bukan secara kebetulan, Gerard Mosterd adalah seniman yang telah cukup lama berkutat dengan pertanyaan seputar eksistensinya sebagai seseorang dengan ras hybrid (campuran). Mosterd memang lahir dari ayah yang berkebangsaan Belanda dan ibu berkebangsaan Indonesia. Latar belakang studi tarinya di Eropa dan eksplorasi yang intens terhadap berbagai genre tari di Asia — khususnya Indonesia — pada akhirnya melatarbelakangi lahirnya karya-karya yang tidak saja inovatif, namun memancing diskusi budaya yang menarik.
Pendidikan formal penari dan koreografer kelahiran Amersfoort tahun 1969 ini didapatkan dari Dansvakopleiding van het Koninklijk Conservatorium di Den Haag, Belanda. Setelah lulus, untuk memperluas pengalaman dan spesialisasi di bidang tari balet, ia bekerja dengan London Festival Ballet, Inggris; Concordance di Paris, Prancis dan Basle Ballet. Sebagai penari, ia pernah membawakan karya-karya koreografer Eropa terkemuka, diantaranya Jiri Kylian, Hans van Manen, Christopher Bruce, Siobhan Davis, dan Maurice Bejart. Pertanyaan seputar identitas dirinya mulai ia temukan ketika ia mulai bekerja dengan The Royal Ballet of Flanders untuk berpentas keliling Eropa dan Cina, juga setelah bekerja dengan Hwa Kang Dance Company di Taipei. Karakter tarian timur yang baginya eksotik, ditambah lagi dengan takdirnya sebagai seorang keturunan Asia banyak membawa pengaruh dan inspirasi yang tak berkesudahan bagi karya-karyanya.
Sejak 1998, Mosterd banyak menciptakan karya-karya tari yang dikembangkan dari latar belakang studi tarinya di Eropa dan ziarah budayanya di daerah-daerah di Indonesia yang dahulu pernah menjadi koloni Belanda. Metode risetnya ini tentu saja menjadi sangat khas dan menarik karena di situ ia juga berusaha mencari keterkaitan antara kultur yang dibawa oleh para penjajah dan pengaruhnya terhadap kebudayaan tradisional setempat. Cara tersebut ia lakukan demi penghayatannya terhadap dua silsilah kultur nenek moyangnya.
Memang, dari berbagai sudut pandang, karakter tarian Timur dan Barat umumnya sering dilihat sebagai dua hal yang bertolak belakang. Namun, menyimak karya-karya Mosterd, tampaklah bahwa hasil dari risetnya yang serius adalah tarian yang mewakili percakapan dua budaya. Dalam karya-karya Mosterd, tidak satu pun dari dua karakter tersebut saling mendominasi atau menegaskan satu sama lain. Keduanya mewujud menjadi sebuah persenyawaan yang harmonis dan saling mengisi. Untuk strudinya tersebut, ia sempat tinggal selama beberapa bulan di Indonesia dan bekerja sama dengan musisi dan koreografer lokal seperti Gugum Gumbira dan Sardono W. Kusumo.
Beberapa karya Mosterd yang pernah dikelilingkan di Eropa antara lain Mental Mechanics into Dripping Senses (1996), Mara (1998), Ketuk Tilu dan Game (1999), Angin dan Soup of The Day (2000), Demam(2001), Luminescent Twilight, serta Tuin (2002). Ketuk Tilu yang menggabungkan jaipongan dan balet dan dipentaskan di Den Haag tahun 1999 menjadi salah satu karya yang paling banyak diperbincangkan para kritikus. Selain karena aspek hibriditasnya, karya Mosterd juga menonjol karena keseriusannya dalam menggarap gerak tubuh, tata artistik panggung, pencahayaan dan musik. Sering ia juga menghadirkan musik-musik etnik/tradisional dan elektronik, sekaligus bahkan keroncong dengan harmonisasi yang apik. Dalam karya Luminescent Twilight yang sempat dipentaskan keliling Indonesia, Mosterd menggabungkan tata pentas wayang kulit — melalui penggunaan layar atau kelir dengan estetika tarian Eropa klasik.
Let Me See Your Face merupakan karya Mosterd yang mencerminkan pencapaian eksplorasinya yang paling akhir dari pertanyaan-pertanyaan seputar identitas dirinya. Kali ini ia menggunakan topeng sebagai metafor tentang selubung identitas yang menurutnya harus ditelanjangi meskipun ketelanjangan belum tentu menampakkan sebuah esensi. Dalam pementasannya di Bandung kali ini ia akan dibantu oleh Wendel Spier dan Jerome Myer sebagai penari, Paul Goodman sebagai komposer dan musisi elektronik serta pemain gamelan Renadi Santoso.
Karya-karya Mosterd bukanlah tipikal tarian ciptaan koreografer yang semata-mata terpesona pada eksotika ketimuran, namun lebih jauh lahir melalui penghayatnan yang sempurna. Mosterd memang tidak pernah merasa dirinya sepenuhnya Barat ataupun Timur. Ia bahkan makan nasi dan kentang bergantian dan merasa selalu hidup di antara gesekan dua kulturnya tersebut. Tampaknya, ini menjadi salah satu karakter yang akan mewarnai khazanah budaya global dewasa ini, ketika kolonialisasi dan migrasi membawa dampak lahirnya generasi (ras) hibrid.
(Agung Hujatnikajennong)***
[Foto Lourentius EP]
“Bagi masyarakat Barat, burqa merupakan simbol topeng yang mereka kenakan.” kata Gerard Mosterd, koreografer asal Belanda
JAKARTA – Perempuan di balik tirai. la. tersembunyi di dalam dunianya. Di sana ia tampak samar. Menunduk, bergulingan, meregang…, semuanya senilai bayang-bayang. Mungkin ia bosan ketika ia memutuskan menarik tirai itu tiba tiba dan terjatuh ke lantai. Namun, perempuan itu tak lantas terlihat jelas. la berpindah ke tirai lain dan bermain sebagai bayang-bayang di baliknya.
Ada empat tirai yang tergantung di panggung. Total semuanya lima, minus satu yang ditarik lepas oleh perempuan itu. Jika diurutkan dari kiri ke kanan, tirai pertama-tempat perempuan itu berada-ada di paling kiri. Menjorok sedikit ke belakang, terletak tirai dua, lantas tirai tiga yang sejajar dengan tirai dua, dan tirai empat berada paling kanan maju ke depan, hampir sejajar dengan tirai pertama.
Di empat tirai itulah Wendel Spier dan Jerume Myer mengolah gerak dalam nomor tari Please Let Me See Your Face karya Gerard Mosterd, koreografer asal Belanda. Inilah penampilan kedua karya Mosterd di Indonesia setelah tahun lalu menampilkan Luminescent Twilight.
Kali ini, karyanya direncanakan mampir di enam kota. Di Jakarta, koreografi ini tampil di Gedung Kesenian Jakarta, Sabtu (27/9) dan Erasmus Huis, Selasa (30/9). Dilanjutkan di Selasar Sunaryo Bandung (3-4 Oktober), di Studio Sono Seni Solo (7/10), Balai Pemuda Surabaya (12 Oktober), Taman Budaya Yogyakarta (15/10), dan Gedung Ksirarnawa Taman Budaya Denpasar (21/10).
Durasi koreografi ini 50 menit dan dimainkan sepasang lelaki dan perempuan untuk menggambarkan tema sepasang kekasih atau suami istri. “Aku terinspirasi oleh perkawinan orangtuaku,” kata Gerard Mosterd. Lulusan sekolah tari Royal Conservatory di Den Haag ini lahir dari ayah Belanda dan ibu Indonesia. Pernikahan beda bangsa itu, menurut dia tidak mungkin tidak menerbitkan konflik.
Dalam konflik itulah ia menyusun rangkaian gerak. Sebagai bagian dari konsepnya, ia senIgaja memilih Wendel Spier, perempuan asal Indonesia yang berkebangsaan Belanda, dan Jerume Myer, lelaki asal Swiss yang juga tinggal di Belanda. Percampuran kultur di antara penarinya inilah yang dipercaya Mosterd tak hanya tampil secara lahiriah tapi secara bawah sadar turut mempengaruhi bentuk gerak mereka.
Dalam pandangannya, konflik pernikahan beda kultur cenderung mendorong seseorang untuk menyelubungi karakter aslinya. Hal ini didorong munculnya semacam mekanisme kontrol untuk bersikap kompromis secara otomatis. Hal ini diperlihatkan Mosterd dengan menyusun “permainan gerak” sekitar 15 menit.
Permainan gerak itu menyerupai petak umpet. Baik Spier dan Myer terus menjaga jarak, tidak pernah bersentuhan. Mereka keluar-masuk panggung secara bergantian. Khusus untuk Spier, ia paling banyak mengeksplorasi tirai, baik dengan menampilkan siluet tubuhnya maupun menempelkannya ke kain. Untuk gerakan, terdapat dua perbedaan mendasar. Spier cenderung bergerak lebih lambat dengan menekankan pada liatan-liatan tubuh yang memberikan efek inner. Sementara itu, Myer bergerak lebih dinamis dan bervariasi.
“Di bagian inilah aku memperlihatkan bagaimana sebuah pasangan menemukan siapa dirimu sebenarnya,” kata Mosterd yang tidak mempercayai adanya improvisasi dalam tarian. la cenderung detail dalam menciptakan koreografi.
Setelah hampir seperempat bagian terpisah, keduanya menyatu di tengah panggung begitu musik menampilkan suara suling. Soal musik, Mosterd mempercayakannya kepada Paul Goodman yang banyak mengolah bunyi yang di dalamnya bercampur dengan instrumen gamelan yang dimainkan Renadi Santoso. Di pojok kanan panggung, Renadi memainkan gong dan sebilah gambang dengan cara eksperimentatif. Misalnya menggesekkan sebatang kayu di permukaan gong.
Bagian duet ini terbagi dua bentuk. Pertama, berduet dengan mengeksplorasi tirai dan kedua, tanpa tirai yang bertempat di tengah panggung. Dalam salah satu bagian, duet tanpa tirai diiringi musik keroncongsatu hal yang juga dilakukannya di nomor Luminescent Twilight. Di bagian ini, gerakan mereka sama persis dan bersifat ke “bawah”, yaitu jenis jenis gerakan yang berpusat di lantai.
Penggunaan tirai sendiri menjadi elemen yang tak hanya kuat dalam hal artistik tapi juga metaforik. ‘Tirai itu menggambarkan burqa,” kata Mosterd. Burqa adalah kostum yang lazim dikenakan perempuan Timur Tengah. Di sinilah Mosterd menampilkan perluasan konflik kultur yang tak hanya berlaku di tingkat domestik.
Menurutnya, burqa merupakan simbol yang tepat untuk menampilkan perbedaan pandangan kultur antara Barat dan Timur. “Bagi masyarakat Barat, burqa merupakan simbol topeng yang mereka kenakan. Padahal, topeng itu juga dikenakan di balik wajah Bush atau masyarakat Barat lainnya di tengah konflik politik saat ini,” ujarnya. Baginya, karya ini tak hanya menyatakan pengalaman pribadinya tapi juga pernyataan politiknya.
Gerard bukanlah orang yang menyetujui terjadinya perang, namun baginya konflik tetap memberikan nilai positif dalam sebuah hubungan beda kultur. Meski tidak setuju dinilai pesimistis, konflik merupakan konsekuensi logis ketika seseorang menyatakan siapa dirinya. Demikian pula yang terjadi dalam pernikahan orangtuanya yang kini berakhir dengan perceraian, “Meski mereka masih berteman sampai sekarang,” katanya sambil tersenyum.
Memang, secara keseluruhan, permainan simbol dan gerakan yang disusunnya dalam gerakan ini terkesan abstrak dan mungkin hanya akan terjawab ketika penonton berdialog dengan penciptanya. Namun, dengan kerapian penempatan gerak, arlistik panggung dan musik yang dirancangnya mendetail, karyanya ini tetap memberikan kebebasan interpretasi dan imajinasi bagi penonton.
• f dewi ria utari
PASAR BARU – Karena salah satu ujungnya digantung di langit-langit, lima lembar kain putih terjuntai ke lantai. Dari balik salah satu lembar kain itu terlihat sesosok bayangan yang meliuk-liuk mengikuti irama musik.
Tangannya seolah-olah ingin menggapai keluar dari balik tirai. Tiba-tiba saja, bayangan di balik kain tersebut memunculkan dirinya di depan tirai. Dia seolah ingin memberitahukan wujud aslinya. Begitulah adegan awal pertunjukan tari karya koreografer Belanda, Gerard Mosterd, Sabtu malam lalu. Berdurasi satu jam, tari bertema Please Let Me See Your Face ini digelar di Gedung Kesenian Jakarta. “Dalam tarian itu, saya ingin mengungkapkan penyelubungan dalam diri manusia,” jelas Gerard.
Selanjutnya, dia mengatakan topeng merupakan simbol yang mewakili nilai luhur tradisi dan ritual. Dalam pementasannya kali ini, Gerard dibantu dua penari; Jerôme Myer dan Wendel Spier. Keduanya didaulat membawakan koreografi terbaru Gerard tersebut. Tapi, mengapa topeng yang ingin ditonjolkan?
Ditanya demikian, Gerard mengatakan, ini karena banyak orang yang tidak bisa menjadi dirinya sendiri. “Mereka lebih suka menyembunyikan identitas pribadi,” tukasnya. Lebih dari itu, Gerard menegaskan, pertunjukan ini memadukan dua kutub budaya yang berbeda. “Barat dan timur, tradisional dan modern, semuanya disatukan dalam sebuah tarian.”
Diiringi musik yang ditata Paul Goodman, Gerard menyelipkan beberapa alunan gending-gending Jawa yang dimainkan Renadi Santoso. “Gending itu untuk mewakili tradisi Timur. Unsur tradisional di dalam tarian ini memang perlu ditonjolkan juga,” jelasnya. Lebih menarik lagi, Paul menyelipkan alunan musik keroncong dalam komposisi musiknya.
Selebihnya, tradisi timur yang diangkat Gerard bisa dilihat dari beberapa gerakan tariannya. Seperti gerarak tari kecak dari Bali. Yang tidak terduga, penari Jerome dan Wendel ternyata memiliki darah campuran Jawa dan Belanda. “Jadi karya yang saya ciptakan kali ini memang memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri,” ujar Gerard.
Rencananya, koreografer yang pernah mementaskan Luminescent Twilight di Indonesia ini, juga akan menampilkan karya-karyanya di lima kota lain. Yaitu di Bandung (3-4/10), Solo (7/10), Surabaya (12/10), Jogjakarta (15/10), dan Denpasar (21/10). (dhe)
THEATER GERARD MOSTERD
Door PIEN KOOME
Ze hebben het er moeilijk mee, de vrijwilligers van theater ‘t Hemeltje. De zolder van hotel De Wereld aan het 5 Mei Plein bood 27 jaar lang een podium aan theater, dans en cabaret. Gisteravond viel definitief het doek. Overigens wel geheel in stijl met een theatrale dansvoorstelling van Gerard Mosterd. Een waardig en weemoedig afscheid. Medewerkster Eveline meldt vooraf even voor de zekerheid dat het publiek niet moet schrikken van de rotzooi. De ontmantelling van het theater is de dag ervoor al in volle hevigheid losgebarsten. En inderdaad, tijdens de klim naar de zolder passeren de laatste der Mohikanen lege ruimten, waar archiefkasten angstig leeg en schots en scheef verspreid staan.
Twaalf bezoekers hebben de warmte getrotseerd om de twee dansers Wendel Spier en Jerome Myer aan het werk te zien. De choreografie van Mosterd is ontwikkeld vanuit een combinatie van oosterse en westerse invloeden. Strakke en schokkerige dans op monotone muziek wordt afgewisseld met meditatieve klanken op gamelan, waarbij de dansers met hun lichamen goochelen alsof ze aan rituele uitdrijving doen. Wat is het toch mooi. Hang zes lampen op, zet veertig stoelen neer en hoppa, je hebt een theater. Zo was het ook in ‘t Hemeltje. Groot voordeel bij een dergelijk minuscuul geheel is de absolute intimiteit, die het publiek ondergaat vanaf het eerste moment van binnenkomst. Ook gisteravond was ondanks de geringe opkomst de serense sfeer direct voelbaar. Niet alleen bij de dansers en muzikanten, die overingens zowel soepel en verfijnd als brutaal en wild te keer gingen, maar ook bij het doodstille publiek.
Nog een pluspunt van zo’n kleine zaal: de artiesten zijn bijna aan te raken. Als de dansers hijgen en zweten, doe je dat als publiek ook. Je ziet de zweetdruppels op de voorhoofden en de glanzende lijven zijn zo dichtbij, dat je wel me ingehouden adem moet kijken. Warm of niet warm. De tegenstelling met grote schouwburgzalen, waar je als publiek ver verwijderd bent van de artiesten op het podium is gigantisch.
Maar Hotel De Wereld wordt weer een overnachtingsplek. Theater en filmhuis verhuizen naar een zaaltje aan de Burgstraat in Wageningen. In het nieuwe seizoen willen de vrijwilligers ook daar wekelijks programmeren. Maar liever waren ze nog even op de oude plek doorgegaan. “Het gebouw moet na Pinksteren leeg zijn”, laat vrijwilliger Eveline weten. “Het filmhuis is afgelopen week al gestopt. En vanavond valt ook voor het theater definitief het doek. Ik word daar wel een beetje weemoedig van. Maar de koelkast is nog vol, dus we kunnen in stijl afschid nemen. Met een borrel proosten op de mooie tijd, die we hier gehad hebben.”
Ondertussen zijn de temperaturen tropisch op zolder. Het publiek zweet net zo hard als de twee dansers. Een afscheid in stijl. Als ode aan ‘t Hemeltje.
Wie nog een voorstelling wil zien in het oude Hemeltje moet morgenavond gaan. Dan brengt Gerard Mosterd de dansvoorstelling Please let me see your face. De laatste keer dat we naar het theatertje kunnen.
Door RIEKE VEURINK
WAGENINGEN • Zijn vader is een blonde man met vikingblauwe ogen uit Amersfoort. Zijn moeder is een gebruinde Indonesische. International gerenommeerd choreograaf Gerard Mosterd zoekt zijn weg tussen twee culturen. Aan de ene kant de cultuur van de schaduw en de nederigheid. Aan de andere kant de ego’s en de directheid. Over die twee kanten in hemzelf maakte Mosterd de voorstelling Please let me see your face. “Er zitten elementen in van Javaanse hofdans en moderne dynamische dans. Het decor bestaat uit voiles, die verwijzen naar verbergen. “Dans is universeel en niet expliciet. Daarmee is het verwand aan poëzie. We geven beelden door.”
Danseres Wendel Spier in Please Let Me See Your Face
De voorstelling wordt gedanst door twee dansers. De Nederlander Jerome Meyer (NDT1) en de Javaanse Wendel Spier. “Spier is opgegroeid in Nederland, maar heeft Javaanse ouders. Voor haar is deze voorstelling een onderzoek naar haar herkomst.”
Net als voor Mosterd zelf. “Ik loop toch tegen een hoop conflicten aan. Neem bijvoorbeeld de pr voor deze voorstelling. Ik vind het heel moeilijk om te gaan reopen dat het een gewedige voorstelling is. Dat heb ik niet mee gekregen.”
Please let me see your face gaat op zoek naar de werkelijke gezichten achter mensen. “Eigenlijk is dat heel actueel. Neem de huidige situatie in de wereldpolitiek. Mannen als Hoessein en Bin Laden heben altijd een glimlach op hun gezicht staan, maar wat gaat er werkelijk achter schuil?”
De verschillen tussen oosters en westers bewegingsmateriaal zijn heel groot. “Oosterse dans stoort zich niet aan tijdsdruk, met als gevolg dat het voor de westerling irritant lang duurt. Het bewegingsmateriaal is ook erg meditatief, sterk verweven met godsdienst en mythologie. Dat is in het Westen al lang niet meer zo. Wij zijn bezig met geometrische patronen. De mens staat helemal centraal.”
Volgens Mosterd is de westerse mens helemaal gericht op zelfontplooiing, terwijl voor de oosterse mens afbraak van het ego het hoogste goed is. “Die twee werelden prober ik bij elkaar te brengen. Ze representeren de twee werelden in mij. Wat dat betreft kun je het als een therapeutisch, maar wel kwalitatief zeer hoogwaardig project zien.
Please let me see your face.
Morgen om 21.00 uur in ‘t Hemeltje (laatste voorstelling in dit theater); reserveren: 0317-482600
Zoetermeer | ‘Please let me see your face’ heet de dansvoorstelling van de Amersfoortse choreograaf Gerard Mosterd, die zaterdagavond 7 juni te zien is in het Indish Culturel Centrum De Graanschuur. Het gaat om een moderne, een uur durende voorstelling uitgevoerd door danseres Wendel Spier (voorheen verbonden aan het dansgezeschao Djazzex) en danser Jerome Meyer (voormalig lid van het Nederlands Danstheater, NDT 1). Als choreograaf laat Gerard Mosterd zich inspireren door de zijn innerlijke tegenstellingen. Hij is half Indisch, half Nederlands. De confrontatie tussen de oosterse en westerse wereld vormt het uitgangspunt van zijn werk. In zijn nieuwe ballet ‘Please let me see your face’ proberen twee dansers elkaars identiteit te ontdekken door hun maskers af te zetten. In een interview vertelde Mosterd: “In Azië treden de dansers meestal gemaskerd op. Het gebruik van maskers hangt samen met de oosterse gewoonte de buitenwereld niet je echte gevoelens te tonen. Een masker verhult of vervormt de werkelijkheid. In het westen wordt erg veel waarde gehecht aan het tonen van jezelf. Dansers worden er juist toe aangezet hun innerlijk op de voorgrond te laten treden.” Mosterd speelt in zijn werk met dat contrast tussen oost en west, het verschil tussen de introverte oosterling en naar buitengerichte westerling. De dansers worden op de elektronische gamelan begeleid door Renadi Santoso.
DANS
De Graanschuur. Dansvoorstelling: ‘Please let me see your face’ van Gerard Mosterd met Wendel Spier en Jerome Meyer. Op zaterdag 7 juni. Aanvang 20.00 uur.
Ook nu weer speelt choreograaf Gerard Mosterd met het contrast oost en west
Willemijn in ‘t Veld
De Amersfoortse choreograaf Gerard Mosterd laat zich inspireren door de tegenstellingen in zichzelf. Door zijn half-Indonesische achtergrond combineert hij oosterse en westerse elementen in zijn leefwijze. De confrontatie tussen beide werelden vormt het uitgangspunt van zijn werk. In zijn nieuwe productie Please let me see your face proberen twee dansers elkaars identiteit te ontdekken door hun maskers af te zetten.
“In Azië treden dansers meestal gemaskerd op,” vertelt Gerard Mosterd. Ze spellen rollen, kruipen in de huid van personages en vertellen op die manier een verhaal. Het gebruik van maskers hangt samen met de oosterse gewoonte de buitenwereld niet je echte gevoelens te laten zien. Een masker verhult of vervormt de werkelijkheid. Je weet niet zeker of wat je ziet ook echt zo is, of iemand zich anders voordoet dan hij is. Door het gebruik van maskers verschilt de oosterse dans sterk van westerse dans. Mosterd: “In het westen wordt juist erg veel waarde gehecht aan het tonen van jezelf. Dansers worden er juist toe aangezet hun innerlijk op de voorgrond te laten treden.”
Als choreograaf speelt Gerard Mosterd met dat contrast tussen oost en west, tussen oosterse introversie en het extraverte karakter van westerlingen. Net als in zijn vorige productie, Lichtende schemering vormt de tegenstelling tussen oost en west het thema van zijn voorstelling. In Please let me see your face zijn dansers op zoek naar elkaars ware gezicht. Ze doen een poging te onthullen welke persoon schuilgaat achter de gesluierde dansers op het toneel.
Opnieuw koos Mosterd voor een duet tussen twee dansers van verschillende afkomst. Dit keer is de danseres, Wendel Spier, van Indonesische afkomst en de danser (Jerome Meyer) een Europeaan. De tegenstellingen in de dans worden gespiegeld in de muziek: een combinatie van livegespeelde Indonesische gamelan en elektonische muziek van de Canadese componist Paul Goodman, waarin samples van gamelanmuziek zijn te horen.
Heel zwart-wit gesteld geldt voor de oosterse levenswijze dat het oplossen van het ego als het hoogst haalbare wordt gezien, terwijl in het westen vooral de persoonlijke ontplooiing van het individu telt. “De expressie van het individu wordt van groot belang geacht, maar het is de vraag of je daardoor je werkelijke ‘ik’ leert kennen,” filosofeert Mosterd.
Zelf balanceert hij in zijn denken en voelen altijd op de grens van oost en west. Voor hem vormt de tegenstelling een fundamenteel onderdeel van zijn wezen. Door zijn half-Indonesische achtergrond weet hij uit ervaring hoe confronterend het is als je niet weet welke houding je moet kiezen.
Is Mosterd uitgangspunt duidelijk autobiografisch, zijn thematiek is universeler. De vriendelijke glimlach die bedekt wat iemand wekelijk voelt of denkt is geen typisch oosters verschijnsel en het westen kent zijn eigen variant op die ondoorgrondelijke glimlach. Ook westerlingen dragen maskers om te verbloemen wat zij wekelijk denken. “Als je een Aziatische opvoeding hebt gehad, heb je geleerd je op de achtergrond te houden, in de schaduw te staan. Maar als je wilt functioneren in een westerse maatschappij moet je voor jezelf opkomen, jezelf profileren. Als je je altijd maar verschuilt achter een masker en niet jezelf kun zijn, verloochen je je identiteit.”
Het is dit dilemma dat Mosterd aan het publiek voorlegd.
Please let me see your face
choreografie Gerard Mosterd, theater De Lieve Vrouw Amersfoort, do 24 apr 20.30 u (première).
door SANDER HISKEMULLER
De oosterling verschuilt zich achter een passieve glimlach, maar wat daarachter aan gevoelens verborgen ligt, weet vaak niemand. De westerse mens banjert met zevenmijlslaarzen op zijn doel af, is recht door zee, maar daarmee ook dikwijls tactloos en agressief. De confrontatie tussen beide werelden is uitgangspunt voor ‘Please let me see your Face’, een opmerkelijke dansvoorstelling waaring twee dansers hun maskers laten vallen en op zoek gaan naar elkaars ware gezicht.
In een combinatie van elementen uit Javaanse hofdans en westers danstheater gaat choreograaf Gerard Mosterd op zoek naar de cultuurclash in zichzelf. Als kind van een Indische moeder en Hollandse vader wordt de dansmaker gedreven door zijn eigen oosterse en westerse achtergrond. Een achtergrond waarin beide culturele facetten nog wel eens botsen.
Mosterd: “In de westerse cultuur word je geacht voor je zelf op te komen en je eigen individualiteit te ontplooien. Alles is naar buiten gericht. Oosterse mensen richten alles juist naar binnen en cijferen zichzelf het liefste weg. Die confrontatie tussen beide levenschoudingen ervaar ik ook in mijn eigen leven.”
In Please let me see your face vormt het verschil in levenshouding van oost en west een fascinerend uitgangspunt. Waar Gerard Mosterd in zijn vorige producties oosterse en westerse dansstijlen naast elkaar liet bestaan, gaat de choreograaf nu een stapje verder: deze voorstelling verbindt de verinnerlijkte, meditatieve Javaanse hofdans en het dynamische, expressieve westers danstheater tot een verassend uniform geheel. Gerard Mosterd werkte voor de voorstelling samen met Wendel Spier, een danseres van Indonesische origine, en Jerôme Meyer, een danser van westerse afkomst. Ook live uitgevoerde Indonesische gamelan, krontjongmuziek en elektronische muziek van Paul Goodman weerspiegelt de confrontatie tussen oost en west.
De twee dansers doen hun uiterste best om erachter te komen welk persoon er achter het masker van de ander schuilgaat. “Emoties zijn bij de oosterling verbogen schter een glimlach; een masker van vriendelijkheid. Het ‘ik’ is in het oosters danstheater letterlijk weggedrukt achter een masker of veel make-up. De eigen persoonlijkheid van de danser is ondergeschikt geworden aan het personage dat wordt uitgebeeld. Dit staat in schril contrast met westerse dans, waarbij alles juist gericht is op het expressief profileren van de ‘ik-persoon'”, stelt Mosterd. Toch kent de westerling ook het principe van het schuilgaan achter een masker. Want zit er achter die westerse doelgerichtheid en actieve expressie niet ook heel wat ongerichte emotie en onzekerheid.
Mosterd: “Het dragen van een masker vervormt de werkelijkheid. Je weet nooit wat zich erachter bevindt. Met deze voorstelling wil ik bovenal laten zien dat je jezelf verloochent als je je achter een masker verschuilt.”
Please let me see your face is vanavond te zien in
Theater De Lieve Vrouw in Amersfoort, aanvang 20.30 uur, tel. 033 – 422.65.55; zaterdag 26 april,
Unit Space Breda, aanvang 20.30 uur, tel. 076 – 522.85.75, wo. 7 en do. 8 mei,
Theater Cosmic Amsterdam, tel. 020 – 622 88 58. Verder: 6 juni,
Wageningen, 7 juni Zoetermeer, 11, 16 en 19 juni: Theater Bintang, Pasar Malam Besar, Den Haag.