STRETCHING TIME / JAM KARET
14 & 20 Jun 2004 | Netherlands Indonesia
14 & 20 Jun 2004 | Netherlands Indonesia
Choreography | : | Gerard Mosterd |
Dramaturgy | : | Inez Van Donselaar |
Art Design | : | Wilhelmus Vlug |
Music | : | Ryuichi Sakamoto , Seigen Ono , Paul Goodman |
Dancers | : | Wendel Spier and Miguel Plukkel/ Rodriguez |
Duration | : | Approx 40 minutes |
Premiere | : | June 14 and 20, 2004 Bintang Theatre, Pasar Malam Besar in The Hague, IV Indonesian Dance Festival Jakarta |
Performances | : | The Hague (Bintang Theatre, Pasar Malam Besar), Wageningen (Theater Wereld), Amersfoort (Theater De Lieve Vrouw) at the 7th Indonesian Dance Festival in Jakarta (TIM, Graha Bhakti), Gesusbsidieerd the 4th Indonesian Dance Festival Jakarta, Cordaid and the Countess of Bylandt Fund |
Stretching Time is a dance piece created around the South East Asian phenomenon of ” Jam Karet” (Rubber Time). The perception of time knows a different perspective in the tropics in contrast with and compared to our own highly time oriented and valued western society. A hilarious duet between a man and a woman. Participation of STRETCHING TIME/Jam Karet in the Indonesian Dance Festival 2004 made possible through generous support of CORDAID and Gravin van Bylandtfonds, the Netherlands.
Stretching Time at The 7th Indonesian Dance Festival 2004, Performed at TIM Graha Bhakti Budaya, Jakarta
Stretching Time [TEMPO Nifran Rifki]
JAKARTA – Dalam latar belakang garis-garis putih tebal melengkung di dinding, sepasang penari bergerak. Gerakannya lentur dari dasar-dasar balet. Tangan mereka sesekali terjulur saling berhadapan. Ketika penari pria memeluk pinggang penari perempuan dalam posisi setengah duduk, diangkat dan digoyangkan tiga kali, tampaklah seperti jarum jam. Tetapi, pergerakan keduanya lalu lebih abstrak. Lima bentuk gerakan diulang tiga kali sebagai penghubung tiga bagian yang diiringi ceracau suara perempuan, sound space, dan sekitar 15 detik bunyi tetes air jatuh di kolam.
Tari kontemporer Stretching Time tersebut merupakan nomor tari yang memiliki kelonggaran waktu sebagai sumber inspirasi. Tema tersebut diungkap Gerard Mosterd dari pemahamannya tentang fenomena “jam karet” yang kemudian dikembangkannya. Meskipun kurang kuat dibanding karya sebelumnya, Luminescent Twilight (2002), garapannya kali ini termasuk salah satu yang menarik di ajang Indonesian Dance Festival 2004 pada Sabtu pekan lalu di Graha Bhaktu Budaya, TIM, Jakarta.
Lahir di Amersfoort, Belanda, pada 1964, Gerard Mosterd yang beribu Indonesia dan ayah dari Belanda ini senang terhadap tari. Ia mempelajari balet klasik, tari kontemporer, dan musik di akademi tari di Royal Conservatory, Den Haag. Lulus dari sekolah itu Mosterd banyak terlibat dengan berbagai kelompok tari internasional.
Sebagai penari freelance, Mosterd ikut dalam proyek tari seperti di Lincoln Centre New York. Pada 1997 ia kembali ke Belanda, menjadi koreografer di produksi-produksi tari yang sebagian besar temanya bersumber dari dua latar kebudayaannya. Pada 2002 ia melakukan tur keliling mengusung karyanya Luminescent Twilight di Jawa dan Bali. Tahun lalu lewat Please Let Me See Your Face. Sementara itu, karya terbarunya, Stretching Time (Jam Karet) tampil pertama kali di acara Pasar Malam Besar of Tong Tong di Den Haag pada Juni lalu. Berikut ini penuturan Mosterd seusai pertunjukan.
Saya tulis beberapa waktu lalu. Saya sedikit stres lima tahun hidup di Eropa. Irama kehidupan cepat. Ketika saya menuju ke sini, dan di pesawat terbang, aaah, relaks. Wow, kita bisa gunakan waktu sesukanya dan benar-benar menikmati hidup. Tempo (waktu) menjadi sangat berbeda. Tetapi, yang juga saya pikirkan adalah kenyataan jam karet.
Saya tidak membuat pertunjukan tari tentang jam karet, tapi pertunjukan tentang ide. Bahwa waktu itu sangat relatif. Karena saya tidak ingin bilang jam karet adalah negatif. Mungkin ada hal atraktif, berpikir waktu adalah hal pertama yang terpikirkan. Di Eropa, kami selalu menggunakan seluruh waktu secara tepat (on time). Kami sebenarnya mencoba mengontrol waktu. Padahal waktu tak bisa dikontrol.
Dua tahun lalu saya membuat garapan dengan menggunakan elemen tarian Asia. Sekarang saya membuat karya baru, tentang konsep seni, yang sekaligus merefleksikan perbedaan Timur dan Barat. Maka, saya pilih bekerja sama dengan penari Indonesia, yakni Wendel Spier dan Miguel Plakku dari Belanda. Saya memadukan mereka untuk menggerakkan ide-ide saya tentang ungkapan waktu.
Manusia itu relatif. Di sini, di antara aktivitas politik, ekonomi, kita dapat membuat lelucon yang membikin kita nyaman. Di Eropa saya merasa waktu tampak kaku. Serius. Saya selalu ditekan waktu. Jadwal selalu padat, dan tahun lalu sering stres karena terlalu banyak pekerjaan. Maka, saatnya sekarang lebih santai. Orang tak begitu peduli pada jam karet. Setengah atau satu jam terlambat, oke saja.
Tentu saja saya dapat mengopi ide tersebut dan kemudian saya susun di panggung, lalu mengkombinasi gerakan tari dan teater. Kadang kala berupa gerakan cepat, kadang sangat lambat. Tetapi, di panggung penari mengubahnya. Karena waktu adalah ruang, dan ruang adalah waktu. Visualisasi ruang atau visualisai waktu kita dapat memainkan ruang. Latar belakang tidak sekadar garis-garis, melainkan simbol menuju titik menjadi sesuatu. Garis yang melengkungi layar pun, seperti mengarahkan mata seperti kita melihat layar tiga dimensi. Jadilah waktu itu amat relatif.
Saya memang tidak memilih membiarkan bermain jam. Kalau cara mudah, konsep tadi tinggal diwujudkan dengan gerakan-gerakan menyerupai ajam dan memainkan seseorang yang datang terlambang sebagai simbol jam karet. Tetapi, langkah itu tidak merangsang imajinasi. Saya pikir, dengan cara tidak langsung, dapat menghubungkan kami terhadap jam karet. Waktu, dalam jam karet, menjadi elastis. Maka, saya susun gerakan penari seperti dalam keadaan koma, ke tubir kegelapan. Mengorganisasi waktu, mereka ingin melihat untuk mengontrol waktu. Padahal, waktu adalah ruang. Jadinya mereka ingin mengendalikan ruang. Tetapi, mereka tak bisa mengendalikan ruang.
• dwi arianto
Penutupan Indonesia Dance Festival
JAKARTA – Indonesia Dance Festival (IDF) VII ditutup di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu (17/7). Ajang yagn berlangsung selama empat hari itu memilih tiga komposisi gerak dari tiga koreografer, yaitu Ali Sukri dari Padang Panjang, Gerard Mosterd dari Belanda dan Bambang Besur Suryono dari Surakarta.
Satu-satunya koreografer asal luar negeri malam itu, Gerard Mosterd, hanya mengambil sedikit saja dasar tari tradisi di negerinya. “Saya mencoba cari inovasi. Karena saya respek pada tari tradisi, saya tidak akan mengopi tradisi,” ujar Mosterd.
Untuk tampil dalam ajang ini, Mosterd mempersiapkan komposisi tariannya dalam dua minggu. Pandangan universalitas dalam geraknya adalah menangkap keseharian dengan pemikiran dan konsep. Gerak keseharian itu kemudian menyatu dengan kelenturan tubuhnya.
Ada satu fenomena Asia yang tajam dicermatinya, yaitu fenomena “jam karet”, sebuah konsep waktu di Asia yang sangat berbeda dengan di Eropa. Namun, Mosterd tidak memberi penilaian tentang mana yang lebih baik. Menurutnya, kondisi yang ada di sebuah masyarakat, termasuk geografis dan cuaca memberikan pengaruh besar untuk budaya setempat.
Gerakan tarinya juga mengombinasikan gerak dan teater. Ia memulai dengan musik simbolik jam – dengan dentang gamelan. Para lelaki penari mengelilingi perempuan penari, mengingatkan kita akan perputaran bumi saat mengitari mentari. Tangan-tangan mereka bergerak patah-patah, mengingatkan kita akan gerak jarum jam panjang. Kemudian lelaki penari mengangkat tubuh perempuan penari, ibarat bandul jam. Ini terjadi berulang selama tiga kali, di tengah suasana teatrikal yang dibangun oleh Mosterd: adegan penantian seorang perempuan di tengah hujan, dan suasana yang seolah melambat.
Ada juga adegan teatrikal lainnya yang lucu, yaitu saat perempuan dan lelaki saling berkejaran, memperlihatkan adegan pergerakan lambat seolah dalam film ketika pita kaset berjalan tersendat. Berkelahi, berangkulan, memukul, semua dalam adegan lambat. Betapa rumitnya cara Mosterd memandang konsep waktu untuk dipindahkan dalam sebuah sajian koreografi!
(SH/sihar ramses simatupang)
INDONESIA DANCE FESTIVAL VII
Inilah kombinasi penampilan para koreografer senior dan yang terbilang masih muda
JAKARTA – Tahun ini, Indonesia Dance Festival kembali hadir. Festival tari internasional dua tahunan ini sudah berlangsung sejak 27 Juni lalu. Namun, program utamanya sendiri akan berlangsung selama tiga hari di Jakarta, dari Rabu (14/7) hingga Sabtu (17/7). Panitia IDF yang tahun ini dikelola oleh Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), menyediakan tiga tempat untuk berlangsungnya festival ini. Taman Ismail Marzuki (TIM), Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), dan Taman Budaya Jawa Timur.
Luminescent Twilight. Karya Gerard Mosterd yang dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta, 2002 [Foto: TEMPO/SWANTI]
Pada 27 Juni lalu, IDF telah menggelar acara yang menjadi bagian dari program festival, yakni sebuah lokakarya koreografi yang berlangsung di Taman Budaya Jawa Timur di Surabaya, hingga 10 Juli. “Dalam lokakarya ini, terkumpul sekitar 25 peserta dari berbagai daerah,” ujar Sukarji Sriman, pengajar IKJ yang juga sekretaris IDF, dalam konferensi pers yang diselenggarakan Rabu (7/7).
Diselenggarakan sejak 1992, tahun ini IDF telah menginjak penyelenggaraan yang ketujuh kalinya. Tema tahun ini “Menatap ke Masa Depan”, yang dianggap mewakili keinginan panitia untuk menjadikan festival ini menjadi ajang untuk mempersiapkan generasi seniman tari selanjutnya. Dipadu dengan misi pendidikan, IDF tahun ini berkeinginan untuk mempertemukan berbagai kelompok penari maupun penata tari dengan orientasi artistik dan latar belakang budaya yang berbeda dari dalam atau luar negeri untuk mempertunjukkan karya pilihannya, berlatih menciptakan karya baru, dan bertukar wawasan.
Untuk itu, IDF tak hanya menekankan pada acara pementasan, tapi juga menambahnya dengan kegiatan-kegiatan yang pada dasarnya ingin mempersiapkan lingkungan tari yang kondusif sebagai unsur utama untuk memacu prestasi kreatif seniman muda.
Sebenarnya program-program yang direncanakan tahun ini tak banyak berbeda dengan IDF sebelumnya. Sejak tahun pertama, selain pertunjukan, IDF juga menyelenggarakan workshop, diskusi, dan showcase. Untuk tahun ini, showcase tetap diselenggarakan dengan istilah yang berbeda, yaitu Emerging Choreographer. Intinya tetap sama, pertunjukan khusus yang menampilkan karya para koreografer muda.
Bertempat di Studio Teater TIM, Emerging Choreographer akan menampilkan karya enam koreografer. Mereka tak hanya berasal dari Indoensia. Ada dua koreografer asing. Mereka adalah Shafirul Azmi bin Suhaimi dari Malaysia dan Aeyani Manring, yang lahir dari pasangan Indonesia dan Amerika yang sejak kecil tinggal di Philadelphia, Amerika. Selain mereka, akan tampil Siko Setyanto (Surakarta), Susi Mariah (Jakarta), dan Mei Lia Nita Sora (Jakarta).
Adapun pertunjukan utama di IDF VII merupakan kombinasi dari penampilan para koreografer senior dan yang terbilang masih muda. Dari luar negeri, akan tampil Min Tanaka, koreografer asal Jepang berusia 59 tahun yang terkenal eksentrik. Dari Jepang juga akan tampil Takiko Iwabuchi. Negara lainnya yang terlibat adalah Taiwan lewat koreografer Ku Min-Sheng yang terkenal dengan metode contact improvisation. Lantas ada Gerard Mosterd, dari Belanda, yang sudah pernah tampil di Indonesia selama dua kali.
Sebenarnya ada seorang koreografer asal Australia yang direncanakan akan tampil, yakni Cazerine Barry. “Namun, ia mengalami kecelakaan panggung dan cedera. Meski demikian, ia tetap akan datang dan memberikan master class,” ujar Sal Mugiyanto penggagas awal munculnya IDF dan direktur utama festival ini.
Dalam negeri, akan tampil Kadek Suardana dari Bali. Ia koreografer senior pendiri Arti Foundation, sebuah organisasi yang diabdikan untuk pemeliharaan dan pengembangan seni pertunjukan dan budaya Bali. Suardana akan menampilkan Ritus Legong, karya yand diciptakannya dua tahun silam. Setingkat dengannya, akan tampil Bambang Besur Suryono, koreografer asal Surakarta yang kini mengajar tari di Singapura. Ia akan menampilkan Bedhaya Layar Cheng Ho, sebuah karya kolaborasi tari Jawa dan opera Cina.
Dari kalangan muda, akan tampil I Nyoman Sura (Bali), Ali Sukri (Padangpanjang), dan tiga koreografer yang tergabung dalam IKJ Dance Company, yakni Asnawi (Aceh), Hanny Herlina (Jakarta). Para koreografer itu akan terlibat dalam diskusi koreografi tari dan manajemen seni pertunjukan yang akan diselenggarakan pada Jumat (16/7).
Satu hal yang berbeda dari IDF tahun ini adalah penyelenggaraan workshop penulisan kritik tari yang diselenggarakan bekerja sama dengan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI), dari Senin (12/7) hingga Rabu (14/7). Kegiatan ini akan diarahkan oleh tiga pembicara, Edi Sedyawati, Sal Murgiyanto, dan Efix Mulyadi. “Kegiatan ini untuk pertama kalinya diselenggarakan. Acara ini penting karena kita tak hanya bisa mengandalkan kemunculan koreografer saja, tanpa adanya kritik yang hidup disekitarnya. Sementara saat ini banyak sekali pertunjukan yang diadakan,” ujar Sal Murgiyanto.
• f dewi ria utari
Op verzoek van het Indonesische dansfestival Jakarta Budaya Festival maakte de Amersfoortse choreograaf Gerard Mosterd de afgelopen zomer een choreografie voor dertien Indonesische dansers.
Stretching Time is zijn nieuwste werk en geïnspireerd op de twee maanden die hij in Indonesië doorbracht. Mosterd ondervond aan den lijve dat de Maleisische volkeren nogal rekbaar omgaan met het begrip tijd, van daar de titel Stretching Time.
Tijd is vloeibaar, zoals de vervreem- dende, gesmolten horloges van de kunstenaar Dalí. De bewegingsvormen in deze choreografie komen voort uit dit gegeven. Stretching Time geeft soms aanleiding tot humoristische momenten. Allerlei situaties worden belicht, waarin timing een grote rol speelt; ook de timing in de dans zelf. Westerlingen hebben de klok en Indonesiërs hebben de tijd. De ontspaning die ontstaat, laat bepaalde bewegingsaflopen tussen beide dansers verbazingwekkend goed op elkaar inhaken.
Stretching Time, De Lieve Vrouw Amersfoort, di 7 dec (première) en wo 8 dec 20.30 u.
De titel ‘Stretching Time’ geeft aan, dat de Maleisische volkeren nogal rekbaar met hep begrip tijd omgaan. Een afspraak op tijd nakomen is over het algemeen erg moeilijk. Men komt altijd te laat. Tijd is vloeibaar.
De bewegingvormen in deze choreografie komen voort uit dit gegeven. Tijd neemt in de dans een wezenlijke plaats in want de snelheid waarmee een beweging wordt uitgevoerd kan de zeggingskracht ervan definiëren. Westerlingen hebben de klok, Maleisiërs de tijd. De Amersfoortse choreograaf Gerard Mosterd maakt al enige jaren deze Indisch geinspireerde moderne dansvoorstellingen.
‘Stretching Time’ is een première.
Theatre De Lieve Vrouw
Dinsdag 7 en woensdag 8 december
Aanvang 20.30 uur.